oleh : Handaka BM
paskah yg identik dng kematian itu juga membawa pertanyaan : mana yg lebih menakutkan, kematian atau kehidupan ?
sejumlah headline berita koran belakangan ini menunjukan bahwa <i>ketakutan menghadapi <b>kehidupan</b> tampaknya bisa lebih dominan dibanding ketakutan menghadapi <b>kematian</b></i>. ketakutan thd kehidupan yg biasa-biasa, kehidupan yg penuh kesulitan dan tantangan, ketakutan hidup sbg manusia lumrah, ala kadarnya, orang rela melakukan berbagai tindakan tercela serta merendahkan diri sendiri.
lalu dimana relevansi kematian golgota, saat ketakutan atau iming2 sorga-neraka tidak lagi menarik perhatian manusia, sebagaimana menjadi modus agama-agama sejak purbakala ?
<Photo 1><i>peristiwa golgota tampaknya tidak memiliki arti dan konskwensi apa-apa</i>, jika dipandang di luar perspektif iman pemeluknya. peristiwa golgota sekedar catatan sejarah, sebuah kisah dramatik yg memilukan atau paling tidak : sebuah penjelasan teologis yang <i>”masuk akal”</i> untuk perlunya (doktrin) penebusan. sebuah pengertian yg seringkali mesti disertai banyak <b>catatan</b>.
kematian golgota lebih menunjukan konskwensi <b>masuk akal</b> bagi mereka yang berani melawan keyakinan yg terlanjur dimutlakan.
<Photo 2>
kematian yesus sebenarnya cukup logis, karena ia melakukan penghujatan dng menyebut diri ” Anak Allah”, sekaligus raja orang yahudi ditengah masyarakat yg meyakini allah tidak mungkin beranak dan diperanakan, ucapan ini seolah memperolok atau melecehkan keyakinan banyak orang, terutama institusi tunggal pembajak kebenaran agama. jadi hukuman mati tsb sesuatu yg wajar.
namun bagi yesus, persoalan itu bukan semata terletak pada perlunya pengakuan yang kontraversial atau sekedar kehendak untuk melawan <b>keyakinan</b> bersama. gagasan yesus tampaknya memang provokatif. tidak sekali dua kali dia berdiri berhadapan frontal dng pandangan umum. ia tetap “bekerja” pada hari sabath dng melakukan pelayanan pengobatan, menggunakan ungkapan-ungkapan yang menusuk thd institusi dan perilaku aparat agama. meng-klaim bait allah sebagai rumah bapaknya, dan dng arogan mengobrak-abrik meja para pedagang yg berkumpul disekitarnya. pendek kata, yesus adalah teroris, provokator, pemberontak ‘setengah hati’ yg tidak jelas cita-citanya, pemimpin masa yg membingungkan.
namun jika pengakuan dia benar, bhw ia adalah anak allah dalam pengertian yg paling vulgar, hidup dan ucapannya adalah kontraversi tersendiri. apa yg terjadi tidak sesuai dng pengakuannya ? anak allah yg maha kuasa tidak berdaya thd pengadilan manusia. apa kata dunia ? berbagai <b>mujijat</b>, <b>kesaktian</b>, kesanggupan menyembuhkan bahkan menghidupkan orang mati, menghentikan angin ribut dan badai, seolah tiada ada bekasnya.
<Photo 3>
titik pandang ini sebenarnya menarik. ketika allah menjadi manusia, ia menjadi manusia seutuhnya dan bukan manusia setengah dewa.
sayang banyak orang kristen justru mengisolir realitas ini lalu berhenti pada pemahaman yang egoistis <b> yesus mati untuk manusia karena sudah demikian kodrat & tugasnya</b>, ia mati supaya manusia bisa hidup dan masuk sorga. ia mati menebus dosa manusia. selesai. alangkah sayangnya ? alangkah sia-sia kehidupan yang begitu dramatik itu jika akhirnya itu tak lebih sekedar <b><i>sandiwara ilahi</b></i> agar manusia berdosa bisa <b>terbebas dari dosa</b> secara praktis, murah, masal dan sederhana. tinggal percaya. benarkah demikian?
<b>BE A MAN</B>
dalam segala hal, peristiwa paskah adalah paradox dari sejumlah pengertian yg dikandungnya sendiri. yg ditinggikan, justru direndahkan. yang mestinya tak berdaya, menentukan nasib yg maha kuasa. namun itu baru satu hal. kenyataan yg lebih pahit, allah yg menjadi manusia, justru mendemonstrasikan kemungkinan-kemungkinan terburuk dari resiko menjadi manusia: dirajam, dibantai dan akhirnya dibunuh karena suatu gagasan atau cita-cita mulia. tak ada mujijat atau serangkaian pertolongan sorgawi. yg ilahi ternyata tidak datang sebagai superman, gundala, spiderman yg penuh kesaktian tiada tara. ia datang sebagai manusia, berjuang sebagaimana manusia dng kedua tangan dan kaki, dng mulut dan kepala, dng keringat dan air mata. serta menantang resiko terburuk yang mungkin terjadi.
<Photo 4>
ketika agama sering membawa terbang manusia ke tingkatan tertinggi, menjadi manusia setengah malaikat, yg suci dan tidak terjamah oleh berbagai resiko nista sbg manusia. <i>kalis lir sambikala, setan ora doyan dhemit ora ndulit</i> ia datang dng cara biasa-biasa saja. yi memampukan sang manusia utk memasuki resiko2 dan kemungkinan2 terburuk sebagai manusia.
ini menunjukan bahwa menjadi manusia, menjalani kehidupan yg mungkin penuh penderitaan, kesulitan termasuk berhadapan dengan segala resikonya adalah <b>luhur dan mulia</b>.
penderitaan, jika itu terbit dari sikap luhur yang mesti diambil, ternyata bukan sesuatu yg mesti dihindari. dalam peristiwa salib, penderitaan itu justru dihampiri. ketika resiko tsb tak mungkin terelakan. ia mengarungi segenap kemungkinan yg oleh orang banyak sering dihindari, bahkan kalau perlu dengan manipulasi dng segala tipu daya, kong kalingkong dan perselingkuhan dng aparat. orang yang demikian tidak memerlukan penyelamatan, semata karena dengan cara begitu ia sudah selamat. bagi Nya, menghadapi resiko yg musti ditanggung seorang manusia oleh karena sikap dan pendiriannya adalah cara untuk menjadi manusia bermartabat & terhormat.
peristiwa paskah akhirnya membuka mata kita, ketakutan yg nyata sebenarnya bukan saja thd kematian tetapi terlebih pada “kehidupan” yg ternyata tetap mesti di jalani secara terhormat, beradab & bermartabat.
potret sehari-hari menunjukan : banyak orang menjadi panik, kalap, kehilangan arah dan orientasi, sehingga menipu, merampok, bukan karena mereka takut mati, tetapi takut untuk menghadapi “hidup yg tidak semestinya”. hidup yang tidak seperti yang diharapkan, hidup yang ala kadarnya, hidup yg biasa-biasa, hidup yang tidak bisa dibanggakan, hidup yang tidak bisa pandang sbg sesuatu yg wah dan mengundang decak kagum sekitar kita, hal-hal semacam itu tampaknya lebih menakutkan dari kematian. bahkan banyak orang lebih rela mati dibanding menjalani hidup yg ala kadarnya. miskin, papa, menderita, sengsara dan terasing.
jika yesus telah bangkit, apakah kematian masih menjadi momok yg menakutkan atau kehidupan yg lebih pendek ini yg lebih menakutkan ? jika kesalehan agama sering membawa manusia menjadi setengah dewa, dapatkah kita memandang indah utk tetap menjadi manusia seutuhnya dng segala resiko terburuk yg mungkin kita hadapi ?
<Photo 5>
selamat merayakan kebangkitan Nya,
selamat merayakan kembali kehidupan ini dengan penuh pengharapan dan sukacita, betapapun (terlihat) susah.
paskah yg identik dng kematian itu juga membawa pertanyaan : mana yg lebih menakutkan, kematian atau kehidupan ?
sejumlah headline berita koran belakangan ini menunjukan bahwa <i>ketakutan menghadapi <b>kehidupan</b> tampaknya bisa lebih dominan dibanding ketakutan menghadapi <b>kematian</b></i>. ketakutan thd kehidupan yg biasa-biasa, kehidupan yg penuh kesulitan dan tantangan, ketakutan hidup sbg manusia lumrah, ala kadarnya, orang rela melakukan berbagai tindakan tercela serta merendahkan diri sendiri.
lalu dimana relevansi kematian golgota, saat ketakutan atau iming2 sorga-neraka tidak lagi menarik perhatian manusia, sebagaimana menjadi modus agama-agama sejak purbakala ?
<Photo 1><i>peristiwa golgota tampaknya tidak memiliki arti dan konskwensi apa-apa</i>, jika dipandang di luar perspektif iman pemeluknya. peristiwa golgota sekedar catatan sejarah, sebuah kisah dramatik yg memilukan atau paling tidak : sebuah penjelasan teologis yang <i>”masuk akal”</i> untuk perlunya (doktrin) penebusan. sebuah pengertian yg seringkali mesti disertai banyak <b>catatan</b>.
kematian golgota lebih menunjukan konskwensi <b>masuk akal</b> bagi mereka yang berani melawan keyakinan yg terlanjur dimutlakan.
<Photo 2>
kematian yesus sebenarnya cukup logis, karena ia melakukan penghujatan dng menyebut diri ” Anak Allah”, sekaligus raja orang yahudi ditengah masyarakat yg meyakini allah tidak mungkin beranak dan diperanakan, ucapan ini seolah memperolok atau melecehkan keyakinan banyak orang, terutama institusi tunggal pembajak kebenaran agama. jadi hukuman mati tsb sesuatu yg wajar.
namun bagi yesus, persoalan itu bukan semata terletak pada perlunya pengakuan yang kontraversial atau sekedar kehendak untuk melawan <b>keyakinan</b> bersama. gagasan yesus tampaknya memang provokatif. tidak sekali dua kali dia berdiri berhadapan frontal dng pandangan umum. ia tetap “bekerja” pada hari sabath dng melakukan pelayanan pengobatan, menggunakan ungkapan-ungkapan yang menusuk thd institusi dan perilaku aparat agama. meng-klaim bait allah sebagai rumah bapaknya, dan dng arogan mengobrak-abrik meja para pedagang yg berkumpul disekitarnya. pendek kata, yesus adalah teroris, provokator, pemberontak ‘setengah hati’ yg tidak jelas cita-citanya, pemimpin masa yg membingungkan.
namun jika pengakuan dia benar, bhw ia adalah anak allah dalam pengertian yg paling vulgar, hidup dan ucapannya adalah kontraversi tersendiri. apa yg terjadi tidak sesuai dng pengakuannya ? anak allah yg maha kuasa tidak berdaya thd pengadilan manusia. apa kata dunia ? berbagai <b>mujijat</b>, <b>kesaktian</b>, kesanggupan menyembuhkan bahkan menghidupkan orang mati, menghentikan angin ribut dan badai, seolah tiada ada bekasnya.
<Photo 3>
titik pandang ini sebenarnya menarik. ketika allah menjadi manusia, ia menjadi manusia seutuhnya dan bukan manusia setengah dewa.
sayang banyak orang kristen justru mengisolir realitas ini lalu berhenti pada pemahaman yang egoistis <b> yesus mati untuk manusia karena sudah demikian kodrat & tugasnya</b>, ia mati supaya manusia bisa hidup dan masuk sorga. ia mati menebus dosa manusia. selesai. alangkah sayangnya ? alangkah sia-sia kehidupan yang begitu dramatik itu jika akhirnya itu tak lebih sekedar <b><i>sandiwara ilahi</b></i> agar manusia berdosa bisa <b>terbebas dari dosa</b> secara praktis, murah, masal dan sederhana. tinggal percaya. benarkah demikian?
<b>BE A MAN</B>dalam segala hal, peristiwa paskah adalah paradox dari sejumlah pengertian yg dikandungnya sendiri. yg ditinggikan, justru direndahkan. yang mestinya tak berdaya, menentukan nasib yg maha kuasa. namun itu baru satu hal. kenyataan yg lebih pahit, allah yg menjadi manusia, justru mendemonstrasikan kemungkinan-kemungkinan terburuk dari resiko menjadi manusia: dirajam, dibantai dan akhirnya dibunuh karena suatu gagasan atau cita-cita mulia. tak ada mujijat atau serangkaian pertolongan sorgawi. yg ilahi ternyata tidak datang sebagai superman, gundala, spiderman yg penuh kesaktian tiada tara. ia datang sebagai manusia, berjuang sebagaimana manusia dng kedua tangan dan kaki, dng mulut dan kepala, dng keringat dan air mata. serta menantang resiko terburuk yang mungkin terjadi.
<Photo 4>
ketika agama sering membawa terbang manusia ke tingkatan tertinggi, menjadi manusia setengah malaikat, yg suci dan tidak terjamah oleh berbagai resiko nista sbg manusia. <i>kalis lir sambikala, setan ora doyan dhemit ora ndulit</i> ia datang dng cara biasa-biasa saja. yi memampukan sang manusia utk memasuki resiko2 dan kemungkinan2 terburuk sebagai manusia.
ini menunjukan bahwa menjadi manusia, menjalani kehidupan yg mungkin penuh penderitaan, kesulitan termasuk berhadapan dengan segala resikonya adalah <b>luhur dan mulia</b>.
penderitaan, jika itu terbit dari sikap luhur yang mesti diambil, ternyata bukan sesuatu yg mesti dihindari. dalam peristiwa salib, penderitaan itu justru dihampiri. ketika resiko tsb tak mungkin terelakan. ia mengarungi segenap kemungkinan yg oleh orang banyak sering dihindari, bahkan kalau perlu dengan manipulasi dng segala tipu daya, kong kalingkong dan perselingkuhan dng aparat. orang yang demikian tidak memerlukan penyelamatan, semata karena dengan cara begitu ia sudah selamat. bagi Nya, menghadapi resiko yg musti ditanggung seorang manusia oleh karena sikap dan pendiriannya adalah cara untuk menjadi manusia bermartabat & terhormat.
peristiwa paskah akhirnya membuka mata kita, ketakutan yg nyata sebenarnya bukan saja thd kematian tetapi terlebih pada “kehidupan” yg ternyata tetap mesti di jalani secara terhormat, beradab & bermartabat.
potret sehari-hari menunjukan : banyak orang menjadi panik, kalap, kehilangan arah dan orientasi, sehingga menipu, merampok, bukan karena mereka takut mati, tetapi takut untuk menghadapi “hidup yg tidak semestinya”. hidup yang tidak seperti yang diharapkan, hidup yang ala kadarnya, hidup yg biasa-biasa, hidup yang tidak bisa dibanggakan, hidup yang tidak bisa pandang sbg sesuatu yg wah dan mengundang decak kagum sekitar kita, hal-hal semacam itu tampaknya lebih menakutkan dari kematian. bahkan banyak orang lebih rela mati dibanding menjalani hidup yg ala kadarnya. miskin, papa, menderita, sengsara dan terasing.
jika yesus telah bangkit, apakah kematian masih menjadi momok yg menakutkan atau kehidupan yg lebih pendek ini yg lebih menakutkan ? jika kesalehan agama sering membawa manusia menjadi setengah dewa, dapatkah kita memandang indah utk tetap menjadi manusia seutuhnya dng segala resiko terburuk yg mungkin kita hadapi ?
<Photo 5>
selamat merayakan kebangkitan Nya, selamat merayakan kembali kehidupan ini dengan penuh pengharapan dan sukacita, betapapun (terlihat) susah.